HIDUP DAN KARYA SARTRE
Jean-Paul Sartre lahir dalam tahun 1905 sebagai putra dari
Jean-Batiste, seorag perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweiter.
Sejak muda, ia sudah memperlihatkan minat dan bakatnya yang besar pada
karya-karya sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia bertemu dengan
Hendri Bergson (1849-1941) di Ėncole Normale, Paris, tempat ia belajar. Antara
tahun 1934-1935, Sartre menghabiskan waktunya di Institut Francais di Berlin,
di mana ia mempelajari fenmonologi Husserl. Sartre menulis buku Transcenental
Ego (1936) di Jerman ketika ia masih berada di Institut tersebut. Ia mengaku
bahwa bukunya itu ditulis atas pengaruh dari Husserl. Di Berlin ia juga menulis
novelnya yang terkenal La Nausėe (rasa mual) yang dianggapnya sendiri sebagai
karyanya yang terbaik sampai akhir kariernya.
Selama perang dunia II, Sartre aktif dalam gerakan
pertahanan Prancis sampai menjadi seorang tawanan perang tentara Jerman. Di
kamp tahanan perang, ia membaca tulisan-tulisan Heidegger. Rujukan-rujukannya
kepada pemikiran Heidegger memperlihatkan bahwa pemikiran Heidegger amat
berpengaruh atasnya. Ini terutama kelihatan dalam karya monumentalnya L’Ėtre et
le Nėant (Being and Nothingness, Ada dan Ketiadaan). Sartre banyak menulis
buku-buku dan ia menghasilkan lebih dari 30 volume buku dan sebagai kelanjutan
dari Being and Nothingness (1943), ia menulis karyanya yang besar Critique of
Dialectical Reason (1960). Bukunya yang terakhir adalah suatu karya tiga volume
tentang Fleubert, berjudul The Idiot of the Familiy, 1971-1972. Sartre adalah
orang yang komitmen pada kebebasan dan hal ini menyebabkan ia menolak menerima
hadiah nobel untuk bidang sastra yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1964.
Alasanya, “saya tidak mau dijelmakan ke
dalam ikatan situasi”. Sartre hidup sederhana dengan harta milik yang tidak
seberapa di suatu apartemen kecil di Paris. Kesehatannya menurun dan hampir
buta. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 15 April 1980, dalam usia tujuh puluh
empat tahun.
B. MANUSIA DAN KEBEBASANNYA
Nama Sartre sering diidentifikasikan dengan
eksistensialisme, karena ia selalu merujuk pada tulisan-tulisan filsuf lain
yang membahas tentang eksistensialisme. Pikirannya tentang eksistensialisme
tertuang dalam tulisannya L’Existensialisme est un humanisme, suatu materi
kuliah yang dipublikasikannya dalam tahun 1946. Usaha untuk memahami
pemikirannya tentang manusia dan kebebasannya adalah baik jika diawali dengan
usaha untuk memahami pemahamannya mengenai eksistensi dan esensi manusia.
1. Eksistensi dan
Essensi Manusia: Usaha Memahami Kebebasan.
Selama masa hidupnya, Sartre hampir menaruh sebagian besar
studi filsafatnya pada eksistensi individu manusia. Hasilnya, ia merumuskan
inti prinsip dasar eksistensialisme: eksistensi mendahului esensi.
Sartre berpendapat bahwa usaha untuk menjelaskan kenyataan
adanya manusia tidak sama dengan kenyataan adanya benda-benda. Maksud implisit
yang mau ditampikan Sartre di sini yakni bahwa manusia itu memiliki martabat
yang luhur melebihi benda-benda yang ada. Penekanan pada manusia subyek ini,
sekaligus juga hendak mengungkapkan adanya suatu kebebasan dalam diri setiap
orang untuk menjadikan dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan
dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat
(esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali.
Itu berarti bahwa manusia adalah “sesuatu “ yang menggerakan dirinya sendiri
menuju ke masa depan dan gerakan itu sungguh disadarinya. Gerakan ke depan ini
membuka kemungkinan dan peluang bagi dirinya sendiri untuk secara bebas
menentukan apa yang diinginkan dirinya untuknya sendiri. Inilah yang
dimaksudkan Sartre dengan esensi manusia: menentukan dirinya sendiri tanpa
intervensi dan campur tangan orang ataupun pihak lain. Akan tetapi, baginya,
penentuan ini hanya dapat terjadi jika
manusia telah berada lebih dahulu. Beradanya manusia disebutnya dengan istilah
ėrtre pour-soi, being for itself, cara berada yang terbuka, dinamis, dan dengan
kesadaran subyektif. Suatu kenyataan yang berbeda dengan benda-benda yang
cara beradanya diistilahkan Sartre dengan ėrtre en-soi. Yang dimaksudkan dengan
cara berada ini yakni cara berada yang bersifat tertutup, statis, pasif, dan
tanpa kesadaran.
2. Manusia adalah Kebebasan yang Memilih dan Memutuskan.
Sartre berpendapat bahwa hekikat manusia adalah kebebasan
dan kebebasan manusia itu bersifat mutlak. Lagi, kebebasan itu hanya
dimiliki oleh manusia semata. Merupakan suatu kemutlakkan karena inilah yang
menjadi syarat bagi pengembangan dan pembangunan diri manusia. Human rality is
free, bassically and completely free.Sedangkan kebebasan nampak dalam
kenyataan bahwa manusia adalah bukan dirinya sendiri, melainkan selalu berada
dalam situasi menjadi diri sendiri. Situasi di mana manusia dituntut untuk
tidak berhenti pada dirinya sendiri melainkan berusaha untuk mengubah dirinya.
Usaha ini disertai dengan pelbagai keputusan atas pilihan-pilihan yang dapat
dipilih manusia itu sendiri. Dalam usaha ini manusia bertindak seorang diri
saja tanpa orang lain menolong atau berasamanya. Ia harus menentukan untuk
dirinya sendiri dan untuk seluruh umat manusia. Dalam memutuskan, saya tidak
mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang
menjamin putusan itu benar.
Sampai di sini, Sartre hanya mau menarik perhatian pada
salah satu dari pengalaman manusia yang paling jelas, yaitu bahwa semua manusia
harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun tanpa penentuan yang
otoritatif, manusia harus memilih. Pengambilan keputusan ini berkaitan langsung
dengan penentuan esensi dari manusia itu sendiri. Jadi, manusia adalah individu
yang lebih dahulu bereksistensi dan kemudian ia sendiri menentukan esensinya
dengan membuat pilihan-pilihan bebas atas pelbagai kemungkinan yang
dihadapinya. Pilihan dalam penentuan hidup ini adalah suatu bentuk dari proyek
yang diusahakan manusia baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap dunia.
Terhadap diri sendiri, manusia mengusahakan suatu proyek yang bertujuan untuk
mencapai suatu kemungkinan dalam eksisteninya. Kemungkinan-kemungkinan itu
sambung menyambung sepanjang manusia masih bereksistensi. Dan usaha ini terjadi
dalam dunia karena manusia adalah being-in-the world.
3. Kebebasan Manusia Menuntut Tanggung Jawab Terhadap Diri
Sendiri dan Sesama
Manusia bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya.
Dan penentuan ini dilakukannya dengan membuat pilihan-pilihan. Akan tetapi,
kebebasan membuat pilihan ini disertai dengan rasa takut yang mendalam, karena
dengan pilihan itu manusia menyatakan
tanggung jawabnya bukan terhadap dirinya sendiri tapi juga terhadap orang-orang
lain. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu
berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia
berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia.[7]
Menurutnya, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari
bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia talah bertanggung
jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang, dan pada saat itu pula
manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Demikian
dikatannya bahwa kita bertanggung jawab atas keseluruhan eksistansi kita dan
bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena terus menerus kita
adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sekaligus kita juga
memilih untuk orang lain. Terhadap diri sendiri, manusia juga dituntut untuk
bertanggung jawab kepada alam rasanya. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab,
bahkan terhadap alam rasanya, karena perasaannya justru dibentuk oleh
perbuatannya sendiri.
Dalam kaitan dengan sesama sebagai bagian dari kenyataan
eksistensi manusia yang ada bersama secara bebas, Sartre juga berpendapat bahwa
kebebasan saya harus juga memperhitungkan kebebasan orang lain. saya tidak
boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa serentak juga membuat hal
yang sama dengan kebebasan orang lain. Jadi saya bebas, tetapi dalam kebebasan
saya, saya sepantasnya memberikan peluang juga kepada orang lain untuk
mengungkapkan kebebasannya. Dalam konteks ini, pemberian makna pada kehidupan
dan dunia kehidupan akan menjadi mungkin. Memang ia pernah menyebutkan orang
lain sebagai “neraka”, tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia
menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Dalam kaitan
dengan ini, ia pernah menyampaikan pandangannya tentang relasi dengan orang
lain sebagai berikut: hakekat relasi-relasi antara manusia ternyata adalah
konflik: orang lain membuat saya menjadi obyek atau saya membuat hal yang sama
pada orang lain. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain, kalau
bergabung melawan orang ketiga, karena dengan demikian akan muncul “kita” yang
obyektif. Konteks pandangannya ini hendak memberi kritik pada kenyataan
hidup manusia yang terbelenggu dalam kebiasaan menjadikan orang lain sebagai
obyek yang berfungsi sebagai sarana bagi pengembangan diri sendiri.
4. Kebebasan Manusia
Sebagai Dalam Kaitan Dengan Eksistensi Tuhan
Penegasan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi
sebetulnya sudah menyisyarakatkan adanya penyangkalannya terhadap eksisteni
Tuhan. Apa yang hendak disampaikan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kalimat
tersebut? Inti dari pembicaraan Sartre tentang Tuhan yakni bahwa ia menyangkal
adanya eksistensi Tuhan. Ia mengkritik pandangan yang menempatkan Tuhan sebagai
pencipta yang dengan kata lain hendak mengatakan bahwa esensi manusia sudah ada
sebelumnya. Esensi yang ada pada Tuhan yang mendapatkan eksistensi dalam
penciptaan atau beradanya manusia di dunia. Sartre menolak pendangan ini dengan
berpendapat bahwa yang pertama ada pada manusia yakni eksisteninya kemudian
esensi yang ditentukan manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau orang lain. Jika
ada Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa, menurutnya, maka segalanya yang bukan
adanya Tuhan adalah ciptaanNya. Kalau begitu, dalam diri Tuhan terdapat semacam
rencana penciptaan di mana esensi benda-benda, termasuk esensi manusia, telah
ditentukan. Dengan demikian, seorang manusia tidak dapat berubah secara hakiki
dan tidak dapat mencapai taraf tinggi daripada yang ditentukan Tuhan. Sartre
menolak kenyataan ini. katanya, seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan
identitas penuh dari ada dan kesadaran. Itulah sebabnya ia memilih secara sadar
ateisme sebagai jalan hidupnya.
Dalam konteks kebebasan, dapat diajukan pertanyaan ini:
bagaimana mungkin manusia menentukan secara bebas hidupnya jika ia harus
bertindak sesuai dengan intervensi dari Tuhan? Manusia adalah kebebasan
sehingga ia sendiri yang menentukan esensinya dan bukan esensi itu sudah ada
pada Tuhan sebelum manusia bereksistensi. Atas cara ini, eksistensi Tuhan
ditolak oleh Sartre. Kalau Allah ada, manusia tidak bebas. Sebaliknya kalau
manusia bebas, Allah harus tidak ada. Inilah pemikiran antropologis Sartre
yang ditempatkan dalam bingkai pembicaraannya mengenai kebebasan.
Demikian telah dibahas tentang kebebasan manusia dalam
menentukan esensinya dalam pandangan Jean-Paul Sartre. Intinya bahwa manusia
adalah subyek yang menentukan sendiri esnsinya setelah ia bereksistensi.
Penentuan ini dilakukannya dengan pelbagai pilihan-pilihan yang menuntut dia
untuk memutuskan nilai mana yang harus menjadi bagiannya. Dalam usaha ini,
manusia tidak saja bergerak sendirian tetapi juga bersama dengan orang lain.
Konsekuensi dari pandangan ini yakni bahwa eksistensi Tuhan harus ditolak, karena
bila ada eksistensi Tuhan maka manusia tidak memiliki kebebasan untuk
menentukan esensinya.
https://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/kebebasan-yang-memilih-memutuskan-dan-bertanggung-jawab/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar