Kamis, 22 Juni 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT LUDWIG ANDREAS FEUERBACH


Image result for hakikat manusia menurut feuerbach



Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filsuf-ateis yang lahir di Bavaria, Jerman. Pada usia muda ia tertarik dengan soal-soal keagamaan. Setelah usia 19 tahun, ia pergi ke Heidelberg University untuk belajar teologi. Pada tahun 1824, Feuerbach pindah ke Berlin, dimana ia mengikuti kuliah-kuliah Hegel. Ia pun mulai meminati filsafat, dan meninggalkan teologi.

Tesis utama Feurbach tentang Allah demikian: Allah adalah hasil pikiran manusia dan bukan sebaliknya. Perihal adanya manusia adalah realitas konkret yang tidak terbantahkan, an sich. Inilah dasar kritik Feuerbach yang membawanya pada sebuah konklusi bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia tetapi Allah adalah hasil/ ciptaan angan-angan manusia

Allah Sebagai Proyeksi Diri Manusia memiliki kemampuan merefleksikan hakikatnya sendiri. Hal ini berarti bahwa manusia sadar diri. Hakikat manusia bagi Feuerbach terdiri dari rasio, kehendak dan hatinya. Rasio, kehendak dan hati ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga. Tampak bahwa gambar yang ideal dari hakikat manusia kemudian dianggap sebagai sifat-sifat yang melekat dalam diri Allah. Allah dijustifikasi sebagai Yang Tertinggi, Maha Sempurna, yang memiliki semua sifat ideal dari cita-cita hakikat diri manusia. Dalam pandangan Feuerbach, Allah yang digambarkan oleh manusia di sini adalah manifestasi dari angan-angannya akan entitas tertinggi yang sifatnya melampaui dirinya. Jelas bagi Feuerbach bahwa Allah adalah proyeksi dari kehendak manusia, karena sifat-sifat yang digambarkan manusia sebagai identitas Allah adalah bentuk sempurna dari hakikatnya sendiri. Hakikat Allah adalah hakikat manusia yang telah dibersihkan dan disuling dari segala keterbatasan atau ciri individualnya lalu dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Manusia mengobjektifkan hakikatnya dalam suatu subjek fantastis, hasil khayalannya semata-mata. Dan itulah Allah dalam pemahaman Feuerbach. Karena Allah adalah substansi ideal dari hakikat diri manusia, maka agama adalah mimpi, fantasi manusia yang menggambarkan situasi manusia yang serentak menyadari sumber kepuasan bagi keinginan untuk mengatasi situasi deritanya, ketergantungannya. Ia berusaha mengatasinya dengan meneriakkan pada tujuan imajinasinya, yakni agama.  Manusia pada gilirannya berpaling pada agama karena menemukan bahwa mereka bebas dari deritanya dalam fantasi-fantasinya. Karena agama menggambarkan sebuah keinginan, agama adalah pelarian manusia mencari di surga apa yang tidak dapat ditemukan di bumi sebagai kompensasi frustrasinya. Di sini, agama adalah suatu ungkapan ketergantungan. Agama adalah konsekuensi dari pengakuan manusia akan keterbatasannya. Manusia Mengalami Alienasi Dengan menempatkan bentuk sempurna dari hakikat dirinya sebagai hakikat Allah, maka manusia mengalami alienasi. Manusia mengakui dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya. Karena Tuhan adalah cinta, kita harus membaca cinta itu Ilahi, karena Tuhan terharu, kita harus membaca keharuan adalah Ilahi, yaitu sesuatu yang bernilai, megah, baik pada dirinya.  Menurut Feuerbach daya-daya ini (bernilai, megah, baik) ditempatkan melebihi dan mengatasi manusia serta mentransformasikannya ke dalam pribadi Ilahi yang dibedakan dari manusia. Agama adalah ekspresi keterasingan manusia. Sejak daya-daya Allah identik dengan daya-daya manusia terjadi apa yang ia sebut "memperkaya Allah sambil memiskinkan diri atau substansi manusiawinya". Dengan demikian manusia mengakui dalam Tuhan apa yang ia sangkal dalam dirinya sendiri. 

Dengan memproyeksikan dirinya ke luar (ke dalam sifat-sifat Allah), maka manusia membangun tembok pemisah dengan dirinya sendiri, menganggap hal-hal yang diproyeksikannya sebagai sesuatu yang lain dari dirinya. Manusia lalu merasa bahwa hasil proyeksinya itu menghadapi dirinya sebagai objek. Manusia mendapati dirinya lebih rendah, memiluhkan, menyedihkan, penuh dosa daripada hasil proyeksi dirinya. Di situ pula, ia menyadari ketidaksanggupannya untuk mencapai hakikat dirinya yang utuh. Proyeksi dirinya dianggap sebagai eksistensi yang ada pada dirinya, yang disembahnya, ditakuti, dihormati sebagai Allah. Karena manusia menjadi takut, ia seakan-akan menjadi lumpuh; ia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Dari pada merealisasikan hakikatnya, ia secara pasif mengharapkan berkah daripadanya. Ia mengasingkan sifat-sifat dari hakikatnya pada Allah dan menyembah Allah sebagai yang mahakuat, maha adil. Keyakinaan ini mencegah manusia untuk merealisasikan hakikatnya karena ia diblokir oleh pengakuan akan ketidakmampuannya untuk mengejar kesempurnaan hakikatnya. Manusia merasa terasing dari dirinya sendiri. Karena Allah adalah alienasi diri manusia dari dirinya sendiri, agama tentu adalah sebuah kenyataan yang harus diatasi oleh manusia sendiri. Manusia bisa mengatasi keterasingannya itu kalau ia sadar akan hakikatnya sendiri. Tanggapan Feuerbach telah berhasil memberi pendasaran ilmiah bagi ateisme. Kata Feuerbach, "Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah ia harus menemukan dirinya di dalam Allah". Ia juga menjelaskan hakikat yang palsu atau teologis dari agama, artinya, pandangan yang menganggap Allah mempunyai keberadaan yang terpisah di luar manusia. Karena itu muncullah berbagai keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang menurutnya tidak hanya merusak pemahaman moral, tetapi juga "meracuni, bahkan menghancurkan, perasaan yang paling ilahi dalam manusia, yaitu pengertian tentang kebenaran". Keyakinan akan sakramen seperti Perjamuan Kudus, juga dilihat oleh Feuerbach sebagai sepotong materialisme keagamaan yang "konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas". Namun, meskipun Feuerbach melihat Allah sebagai proyeksi dari diri manusia, ini tidak berarti bahwa Allah itu tidak lebih dari sekedar proyeksi. Feuerbach pun belum menyentuh pertanyaan ini; apakah memang Allah itu tidak lebih daripada sekedar proyeksi diri mansuaia? Pertanyaan dasariah apakah Allah itu ada atau tidak, juga belum ia sentuh. Feuerbach hanya berusaha mengidentifikasi Allah sebagai hasil angan-angan manusia. Ia hanya bisa mengatakan bahwa Allah bisa dimanipulasi oleh orang beragama  yang merasa terblokir dambaannya. Oleh karena itu seandaianya Allah itu memang ada, maka tentu tidak ada salahnya jika manusia itu menyembahnya, menyandarkan diri pada-Nya sebagai entitas tertinggi, yang lebih dari sekedar proyeksi diri manusia. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah benar-benar ada) manusia menemukan jati dirinya. Di sisi lain, seandainya memang Allah adalah proyeksi diri manusia, maka sulitlah untuk menjelaskan bahwa sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh manusia. Manusia pada dasarnya makhluk terbatas, dan bagi orang beragama (yang mengakui Allah), maka hal yang khas bagi Allah adalah keberadaanya yang tak terhingga. Dan manusia sebagai makhluk yang terbatas, dalam lingkup pengalaman inderawinya, tidak pernah mengalami apa yang tak terhingga itu. Maka, tidak mungkin bahwa hakikat tak terhingga (yang ditunjukkan dengan kata maha-) itu sebagai proyeksi dari hakikat manusia karena hakikat ketakterhinggaan dalam kemanusiaan tidak ada. Dapat dikatakan bahwa manusia bisa beragama dan percaya pada Allah justru karena kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-indrawinya. Atau dalam pandangan antropologis filosofis modern manusia adalah makhluk yang  mempunyai dimensi transenden justru karena ia mempunyai jiwa sebagai prinsip unifikasi yang imaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada "ada", bahkan pada Ada Tertinggi, Allah sendiri. 

Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi dari angan-angan  manusia akan hakikatnya yang sempurna, maka Feuerbach jatuh dalam antropologi yang justru mempermiskin pemahaman mengenai manusia. Manusia bagi Feuerbach hanya dilihat sebagai makhluk inderawi. Ia dilepasakan dari kemampuan lain di luar kemampuan inderawinya. Itu semua tidak diperhatikan Feuerbach. "Secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi Feuerbah adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan monodimensional."Ia mengajarkan suatu antropologi yang berpretensi memperkaya manusia. Namun ironinya, antropologi Feuerbach malah mempermiskin manusia--justru lantaran ia membuang agama dari padanya. Meski demikian konsep Allah sebagai proyeksi diri manusai ada manfaatya juga bagi orang-orang beriman. Kerapkali orang beriman (terutama para pemimpin) melakukan sesuatu atas nama Allah, padahal itu adalah pantulan dari kehendaknya sendiri untuk berkuasa, mendominasi dan mendapat kepuasan batin atau mungkin juga demi pemenuhan hidden needs dalam dirinya. 

Fantasi saleh yang keterlaluan-bukan tindak mngkin merupakan pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan untuk  berusaha. Maka bagi orang bergama, sisi  positif dari konsep Feuerbach adalah diajak bahkan didesak untuk mawas diri dan wapada terhadap laku hidup beragam karena Allah itu yang dijadikan sebagai sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi dari kehendak manusia sendiri.

Kesadaran Manusia

Menurut Ludwig Feuerbach manusia memiliki totalitas hakikat manusia yang sejati. Hal itu terungkap dalam akal budi, kehendak dan hati yang ada pada diri manusiawi. Pendapat ini seolah menerima kenyataan lain di luar empiris. Namun kesan ini tidaklah benar karena hati berkaitan dengan cinta atau perasaan. Hati yang berkaitan dengan cinta atau perasaan dikategorikan ke dalam bidang pengalaman konkret (indrawi). Apakah akal budi dan kehendak itu kenyatan rohaniah? Ia mengatakan bahwa akal budi dan kehendak adalah akativitas jiwa, namun sifatnya bukan empiris karena jiwa itu sendiri satuan menyeluruh dari semua indra. Keindrawian adalah hakekat manusia.

Kenyataan yang konkret itu adalah alam material. Alam material dapat diketahui oleh pikiran; objek dapat diketahui melalui subjek yang sadar. Alam material adalah dasar bagi kesadaran. Manusia mampu membedakan dirinya dari alam dan manusia mampu merefleksikan dirinya. Ketika manusia mampu merefleksikan dirinya, ternyata manusia sadar bahwa dirinya mempunyai keterbatasan-keterbatasan.

Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Allah dalam agama, merupakan sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.

AGAMA BAGI FEUERBACH

Agama menurut Feuerbach merupakan suatu gambaran akan keinginan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia.

Kebijaksanaan, karsa, keadilan, cinta kasih, sekian banyak atribut kekal yang seluruhnya merupakan hakikat manusia yang sesungguhnya, dan yang (oleh manusia) diproyeksikan secara spontan di luar dirinya; ia mengobjektifkan hakikat itu dalam suatu subjek fantastis, suatu hasil khayalan semata- mata yang disebutnya Allah. Maka dari itu inteligibilitas tertinggi menjadi sesuatu yang “sungguh- sungguh terdapat di luar pikiran kita, di luar kita, dalam dirinya dan demi dirinya”.

Teori proyeksi dari Feuerbach diambil alih oleh Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre. Tetapi pendapat Feuerbach tentang peranan agama cukup berbeda dari pendapat mereka. Menurut Feuerbach agama mengajar betapa agung manusia. Semua mimpi manusia diberi bentuk dan nama dalam Allah.” Allah itu bukan asal manusia. Manusia justru asal Allah.

KRITIK ATAS TEORI PROYEKSI
  •  Sekalipun Feuerbach memakai bermacam- macam dokumentasi, namun dia tidak pernah sungguh- sungguh mengajukan bukti tentang apa yang diakuinya secara tegas. ”Dokumentasinya tidak dipergunakan untuk membangun sesuatu, melainkan untuk mengilustrasikan beberapa tesis yang sudah ditetapkan lebih dahulu. Keputusannya sudah diambil sebelum ia mengangkat pena: agama itu hanya dapat berupa suatu ilusi belaka”.
  •  Dia menggunakan gagasan agama dengan cara yang sama sekali tidak membeda- bedakan, dengan menggolongkan semua agama ke dalam ketegori teisme. Dia tidak berusaha untuk membedakan antara Allah menurut iman agama- agama monoteis dan dewa- dewa agama primitif. Dengan demikian, dia tidak menghormati realitas historis kenyataan religious.
  •  Dia hendak kembali kepada manusia konkret. Tetapi sesungguhnya, dia hanya membahas manusia sebagai hakikat generik: objek sejati agama, menurutnya, bukanlah Allah, melainkan hakikat manusia ideal. Tentang hal ini Engels kemudian berkata,”kultus manusia abstrak merupakan pusat agama baru menurut Feuerbach.”
  •  Adapun kepuasan- kepuasan yang dijanjikan oleh Feuerbach untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kebahagiaan mutlak bersifat khayalan saja. Feuerbach merampas individu konkret (satu- satunya yang bereksistensi) dari rasanya untuk yang mutlak. Dengan demikian, dia memperlihatkan dengan jelas bahwa, jikalau Allah ditolak, ditolak juga semua fundamen yang bisa mendasarkan nilai riil kepribadian manusiawi. Individu konkret tidak masuk hitungan lagi, sedangkan suatu abstraksi, yaitu manusia sebagai jenis, dianggap sebagai realitas yang benar serta sempurna dan mutlak.
  •  Prinsip epistemologi yang salah: dia menyatakan sebagai prinsip umum bahwa satu- satunya objek pengetahuan manusia hanyalah kodrat manusia serta atribut- atributnya. Ketika manusia memikirkan “yang tak terbatas”, dia sebenarnya memikirkan ciri tak terbatas dari pikirannya sendiri. Objek akal budi manusia tidak lain daripada akal budi sendiri yang memikirkan dirinya; dan sama halnya dengan kemampuan- kemampuan lain: objek mereka masing- masing adalah mereka sendiri. “Seakan- akan tidak ada lagi objektifitas. Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan. Dan subjektivisme ini dijadikan suatu dogma”.




Sumber :




Budi Hardiman, F. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia

Hamersma, Harry. 1990. Tokoh-tokoh  Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Lili Tjahjadi, Simon Petrus. 2006. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis-Suzeno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Schacht, Richard. 1970. Alienasi (diterjemahkan oleh I Mahyudin dari judul aslinya Alienation, Anchor Books, New York, 1990). Yogyakarta: Jala Sutra




Sabtu, 10 Juni 2017

Pemikiran Jean Paul Sartre Tentang Kebebasan dengan Filsafat Eksistensialisme.



HIDUP DAN KARYA SARTRE


Image result for pemikiran filsafat menurut jean paul sartre



Jean-Paul Sartre lahir dalam tahun 1905 sebagai putra dari Jean-Batiste, seorag perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweiter. Sejak muda, ia sudah memperlihatkan minat dan bakatnya yang besar pada karya-karya sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia bertemu dengan Hendri Bergson (1849-1941) di Ėncole Normale, Paris, tempat ia belajar. Antara tahun 1934-1935, Sartre menghabiskan waktunya di Institut Francais di Berlin, di mana ia mempelajari fenmonologi Husserl. Sartre menulis buku Transcenental Ego (1936) di Jerman ketika ia masih berada di Institut tersebut. Ia mengaku bahwa bukunya itu ditulis atas pengaruh dari Husserl. Di Berlin ia juga menulis novelnya yang terkenal La Nausėe (rasa mual) yang dianggapnya sendiri sebagai karyanya yang terbaik sampai akhir kariernya.

Selama perang dunia II, Sartre aktif dalam gerakan pertahanan Prancis sampai menjadi seorang tawanan perang tentara Jerman. Di kamp tahanan perang, ia membaca tulisan-tulisan Heidegger. Rujukan-rujukannya kepada pemikiran Heidegger memperlihatkan bahwa pemikiran Heidegger amat berpengaruh atasnya. Ini terutama kelihatan dalam karya monumentalnya L’Ėtre et le Nėant (Being and Nothingness, Ada dan Ketiadaan). Sartre banyak menulis buku-buku dan ia menghasilkan lebih dari 30 volume buku dan sebagai kelanjutan dari Being and Nothingness (1943), ia menulis karyanya yang besar Critique of Dialectical Reason (1960). Bukunya yang terakhir adalah suatu karya tiga volume tentang Fleubert, berjudul The Idiot of the Familiy, 1971-1972. Sartre adalah orang yang komitmen pada kebebasan dan hal ini menyebabkan ia menolak menerima hadiah nobel untuk bidang sastra yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1964. Alasanya,  “saya tidak mau dijelmakan ke dalam ikatan situasi”. Sartre hidup sederhana dengan harta milik yang tidak seberapa di suatu apartemen kecil di Paris. Kesehatannya menurun dan hampir buta. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 15 April 1980, dalam usia tujuh puluh empat tahun.



B. MANUSIA DAN KEBEBASANNYA

Nama Sartre sering diidentifikasikan dengan eksistensialisme, karena ia selalu merujuk pada tulisan-tulisan filsuf lain yang membahas tentang eksistensialisme. Pikirannya tentang eksistensialisme tertuang dalam tulisannya L’Existensialisme est un humanisme, suatu materi kuliah yang dipublikasikannya dalam tahun 1946. Usaha untuk memahami pemikirannya tentang manusia dan kebebasannya adalah baik jika diawali dengan usaha untuk memahami pemahamannya mengenai eksistensi dan esensi manusia.

1.     Eksistensi dan Essensi Manusia: Usaha Memahami Kebebasan.

Selama masa hidupnya, Sartre hampir menaruh sebagian besar studi filsafatnya pada eksistensi individu manusia. Hasilnya, ia merumuskan inti prinsip dasar eksistensialisme: eksistensi mendahului esensi.

Sartre berpendapat bahwa usaha untuk menjelaskan kenyataan adanya manusia tidak sama dengan kenyataan adanya benda-benda. Maksud implisit yang mau ditampikan Sartre di sini yakni bahwa manusia itu memiliki martabat yang luhur melebihi benda-benda yang ada. Penekanan pada manusia subyek ini, sekaligus juga hendak mengungkapkan adanya suatu kebebasan dalam diri setiap orang untuk menjadikan dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Itu berarti bahwa manusia adalah “sesuatu “ yang menggerakan dirinya sendiri menuju ke masa depan dan gerakan itu sungguh disadarinya. Gerakan ke depan ini membuka kemungkinan dan peluang bagi dirinya sendiri untuk secara bebas menentukan apa yang diinginkan dirinya untuknya sendiri. Inilah yang dimaksudkan Sartre dengan esensi manusia: menentukan dirinya sendiri tanpa intervensi dan campur tangan orang ataupun pihak lain. Akan tetapi, baginya, penentuan ini  hanya dapat terjadi jika manusia telah berada lebih dahulu. Beradanya manusia disebutnya dengan istilah ėrtre pour-soi, being for itself, cara berada yang terbuka, dinamis, dan dengan kesadaran subyektif. Suatu kenyataan yang berbeda dengan benda-benda yang cara beradanya diistilahkan Sartre dengan ėrtre en-soi. Yang dimaksudkan dengan cara berada ini yakni cara berada yang bersifat tertutup, statis, pasif, dan tanpa kesadaran.

2. Manusia adalah Kebebasan yang Memilih dan Memutuskan.
Sartre berpendapat bahwa hekikat manusia adalah kebebasan dan kebebasan manusia itu bersifat mutlak. Lagi, kebebasan itu hanya dimiliki oleh manusia semata. Merupakan suatu kemutlakkan karena inilah yang menjadi syarat bagi pengembangan dan pembangunan diri manusia. Human rality is free, bassically and completely free.Sedangkan kebebasan nampak dalam kenyataan bahwa manusia adalah bukan dirinya sendiri, melainkan selalu berada dalam situasi menjadi diri sendiri. Situasi di mana manusia dituntut untuk tidak berhenti pada dirinya sendiri melainkan berusaha untuk mengubah dirinya. Usaha ini disertai dengan pelbagai keputusan atas pilihan-pilihan yang dapat dipilih manusia itu sendiri. Dalam usaha ini manusia bertindak seorang diri saja tanpa orang lain menolong atau berasamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya sendiri dan untuk seluruh umat manusia. Dalam memutuskan, saya tidak mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan itu benar.

Sampai di sini, Sartre hanya mau menarik perhatian pada salah satu dari pengalaman manusia yang paling jelas, yaitu bahwa semua manusia harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun tanpa penentuan yang otoritatif, manusia harus memilih. Pengambilan keputusan ini berkaitan langsung dengan penentuan esensi dari manusia itu sendiri. Jadi, manusia adalah individu yang lebih dahulu bereksistensi dan kemudian ia sendiri menentukan esensinya dengan membuat pilihan-pilihan bebas atas pelbagai kemungkinan yang dihadapinya. Pilihan dalam penentuan hidup ini adalah suatu bentuk dari proyek yang diusahakan manusia baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap dunia. Terhadap diri sendiri, manusia mengusahakan suatu proyek yang bertujuan untuk mencapai suatu kemungkinan dalam eksisteninya. Kemungkinan-kemungkinan itu sambung menyambung sepanjang manusia masih bereksistensi. Dan usaha ini terjadi dalam dunia karena manusia adalah being-in-the world.

3. Kebebasan Manusia Menuntut Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri dan Sesama
Manusia bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya. Dan penentuan ini dilakukannya dengan membuat pilihan-pilihan. Akan tetapi, kebebasan membuat pilihan ini disertai dengan rasa takut yang mendalam, karena dengan pilihan itu  manusia menyatakan tanggung jawabnya bukan terhadap dirinya sendiri tapi juga terhadap orang-orang lain. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia.[7] Menurutnya, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia talah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang, dan pada saat itu pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Demikian dikatannya bahwa kita bertanggung jawab atas keseluruhan eksistansi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sekaligus kita juga memilih untuk orang lain. Terhadap diri sendiri, manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab kepada alam rasanya. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab, bahkan terhadap alam rasanya, karena perasaannya justru dibentuk oleh perbuatannya sendiri.

Dalam kaitan dengan sesama sebagai bagian dari kenyataan eksistensi manusia yang ada bersama secara bebas, Sartre juga berpendapat bahwa kebebasan saya harus juga memperhitungkan kebebasan orang lain. saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa serentak juga membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Jadi saya bebas, tetapi dalam kebebasan saya, saya sepantasnya memberikan peluang juga kepada orang lain untuk mengungkapkan kebebasannya. Dalam konteks ini, pemberian makna pada kehidupan dan dunia kehidupan akan menjadi mungkin. Memang ia pernah menyebutkan orang lain sebagai “neraka”, tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Dalam kaitan dengan ini, ia pernah menyampaikan pandangannya tentang relasi dengan orang lain sebagai berikut: hakekat relasi-relasi antara manusia ternyata adalah konflik: orang lain membuat saya menjadi obyek atau saya membuat hal yang sama pada orang lain. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain, kalau bergabung melawan orang ketiga, karena dengan demikian akan muncul “kita” yang obyektif. Konteks pandangannya ini hendak memberi kritik pada kenyataan hidup manusia yang terbelenggu dalam kebiasaan menjadikan orang lain sebagai obyek yang berfungsi sebagai sarana bagi pengembangan diri sendiri.

4.   Kebebasan Manusia Sebagai Dalam Kaitan Dengan Eksistensi Tuhan

Penegasan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi sebetulnya sudah menyisyarakatkan adanya penyangkalannya terhadap eksisteni Tuhan. Apa yang hendak disampaikan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kalimat tersebut? Inti dari pembicaraan Sartre tentang Tuhan yakni bahwa ia menyangkal adanya eksistensi Tuhan. Ia mengkritik pandangan yang menempatkan Tuhan sebagai pencipta yang dengan kata lain hendak mengatakan bahwa esensi manusia sudah ada sebelumnya. Esensi yang ada pada Tuhan yang mendapatkan eksistensi dalam penciptaan atau beradanya manusia di dunia. Sartre menolak pendangan ini dengan berpendapat bahwa yang pertama ada pada manusia yakni eksisteninya kemudian esensi yang ditentukan manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau orang lain. Jika ada Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa, menurutnya, maka segalanya yang bukan adanya Tuhan adalah ciptaanNya. Kalau begitu, dalam diri Tuhan terdapat semacam rencana penciptaan di mana esensi benda-benda, termasuk esensi manusia, telah ditentukan. Dengan demikian, seorang manusia tidak dapat berubah secara hakiki dan tidak dapat mencapai taraf tinggi daripada yang ditentukan Tuhan. Sartre menolak kenyataan ini. katanya, seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari ada dan kesadaran. Itulah sebabnya ia memilih secara sadar ateisme sebagai jalan hidupnya.

Dalam konteks kebebasan, dapat diajukan pertanyaan ini: bagaimana mungkin manusia menentukan secara bebas hidupnya jika ia harus bertindak sesuai dengan intervensi dari Tuhan? Manusia adalah kebebasan sehingga ia sendiri yang menentukan esensinya dan bukan esensi itu sudah ada pada Tuhan sebelum manusia bereksistensi. Atas cara ini, eksistensi Tuhan ditolak oleh Sartre. Kalau Allah ada, manusia tidak bebas. Sebaliknya kalau manusia bebas, Allah harus tidak ada. Inilah pemikiran antropologis Sartre yang ditempatkan dalam bingkai pembicaraannya mengenai kebebasan.



Demikian telah dibahas tentang kebebasan manusia dalam menentukan esensinya dalam pandangan Jean-Paul Sartre. Intinya bahwa manusia adalah subyek yang menentukan sendiri esnsinya setelah ia bereksistensi. Penentuan ini dilakukannya dengan pelbagai pilihan-pilihan yang menuntut dia untuk memutuskan nilai mana yang harus menjadi bagiannya. Dalam usaha ini, manusia tidak saja bergerak sendirian tetapi juga bersama dengan orang lain. Konsekuensi dari pandangan ini yakni bahwa eksistensi Tuhan harus ditolak, karena bila ada eksistensi Tuhan maka manusia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan esensinya.


Sumber:


https://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/kebebasan-yang-memilih-memutuskan-dan-bertanggung-jawab/

HAKEKAT MANUSIA MENURUT LUDWIG ANDREAS FEUERBACH

Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filsuf-ateis yang lahir di Bavaria, Jerman. Pada usia muda ia tertarik dengan soa...